Minggu, 30 September 2012

Bank Syariah: Problematika dan Solusinya


A.  Kendala-kendala Fiqh   
1. Adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga pendapat yaitu; halal, syubhat, dan haram.
Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. 
a.   Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. 
b.  Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. 
c.  Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif. 
d.  Keempat,adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan.
Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram.
Menurut pengamatan penulis, kontroversial mengenai bunga bukan hanya terjadi di  Indonesia tetapi juga terjadi di beberapa negara Islam seperti Mesir, Irak, dan Iran (Omar Abdul Aziz, 1987, pp. 288-296), sehingga untuk menghadapinya perlu menggunakan pendekatan ilmiah dan normatif untuk menyakinkan para ulama yang menghalalkan bunga atasmadarat-nya, dengan memberi bukti-bukti empiris  mengenai kehancuran yang mengancam perekonomian Negara-negara sedang Berkembang karena praktek bunga yang ditawarkan oleh perbankan konvensional, dan alasan-alasan yang menjadi dasar untuk menghalalkan bunga tidak benar secara empiris.

2. Hal lain yang perlu diperhatikan oleh perbankan Syari’ah di Indonesia bahwa tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan masih terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat suku bunga.
          Kalau kita amati perbankan Syari’ah yang beroperasi di beberapa negara Islam dan non Islam bisa dilihat bahwa tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan lebih tinggi dari tingkat suku bunga hingga perbankan Syari’ah menjadi lebih menarik bagi para nasabah non Muslim. Masalah ini bisa menghambat perkembangan perbankan Syari’ah di Indonesia dan membuat nasabah cenderung memilih perbankan konvensional dan secara empiris berlawanan dengan teori keuntungan perbankan Syari’ah (Folcer, 1987) yang menganggap bahwa keuntungan perbankan Syari’ah lebih dari tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh perbankan konvensional dan bisa dibuktikan secara matematis seperti berikut:
(dengan asumsi bahwa perbankan Syari’ah dan Konvensional tidak menghadapi permasalahan likuiditas)
maka:
R        = Return Investasi
B        = Biaya Investasi
DR     = Suku Bunga yang dihitung dengan nilai kapital ´ rata-rata suku bunga untuk hutang
iK      = keuntungan sesuai dengan sistem konvensional
iPL     = keuntungan sesuai dengan profit dan loss sharing (sistem Islam)
Dengan ini bisa konsekuensi bahwa:
1. iPL  = R - B
2. iK   = R - B - DR
3. iPL  = iK + DR 
4. iK    = iPL – DR
(dengan memasukkan persentase perbankan Syari’ah dari keuntungan profit dan loss sharing yang dirumuskan dengan PK) maka inequation bisa ditulis dengan: (Folcer, 1987)
(1 – PK) iPL  ³  iK  ............................................ 1
Dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa kinerja perbankan Syari’ah di Indonesia masih di bawah kinerja perbankan Syari’ah di negara lain dan masih dalam operasinya mengutamakan produk yang mendapatkan arus kas yang tetap sepertimurabaha dari pada produk yang mempunyai arus kas yang tidak pasti sepertimusyarkah, dan mudharaba.

B.  Problem Hukum
1. Bank Syari’ah / Islam dalam sistem perbankan Indonesia secara formal telah dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Namun demikian, UU tersebut belum memberi landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan bank Syari’ah karena belum secara tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip Syari’ah melainkan Bank Bagi Hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syari’ah yang memiliki cakupan lebih luas dari bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha Bank Syari’ah.
2. Pemberlakuan UU Perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang  luas  untuk  pengembangan  jaringan  perbankan Syari’ah  antara lain  melalui ijin pembukaan Kantor   Cabang  Syari’ah   (KCS)   oleh    bank    konvensional. Dengan    kata   lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip Syari’ah.
3. Selain itu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) juga menugaskan BI untuk mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional Bank Syari’ah. Kedua UU tersebut di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia. Dual Banking System yang dimaksud adalah terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syari’ah) secara berdampingan dalam melayani perekonomian nasional yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku.
BI dalam fungsinya sebagai The Leader of Last Resort adalah membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Menurut ps. 11 (1) UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia adalah bahwa BI dapat memberi kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syari’ah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank tersebut. Hanya saja kesulitan terjadi ketika UU tersebut juga menentukan bahwa bank konvensional maupun bank syari’ah wajib memberikan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan serta nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau  pembiayaan  yang  diterimanya.  Sedangkan  maksud   agunan  yang  berkualitas tinggi dan mudah dicairkan adalah meliputi surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai otoritas untuk itu. Bagi bank syari’ah untuk dapat menyediakan agunan berupa surat-surat berharga dan/atau tagihan yang tidak berbunga, belum mungkin karena pasar uang (financial market) yang berdasarkan prinsip syari’ah belum berkembang di Indonesia.
Kendala hukum yang lain ialah di Indonesia, Pengadilan Negeri tidak menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah. Di Indonesia, badan ini dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI, yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan MUI. Akan tetapi badan tersebut sampai sekarang belum bekerja dan sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah diselesaikan di Pengadilan Negeri.
Alasan ini memperlihatkan bahwa seseorang memilih bank syariah adalah alasan emosional-ideologis, bukan alasan yang memberi solusi pada nasabah, yang membantu nasabah dalam menyelesaikan problem-problemnya secara lebih baik, memberikan perbaikan pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat lemah dan pada tujuannya memberikan rahmah pada alam semesta. Solusi yang dimaksud di sini adalah alasan lebih adil, menolong, resiko ringan. Artinya, secara riil keberadaan bank syariah di dunia, khususnya di Indonesia baru dipandang sebagai penyelamatan diri secara emosional-ideologis, bukan penyelamatan (solusi) dari problem ekonomi, bahkan secara makro penyelamatan eksistensial, yang menyelamatkan kemanusiaan dari kekuatan kapital yang merongrong eksistensi kemanusiaan, yang berujung pada problem kemanusiaan.
Fenomena ini tidak hanya dipacu oleh kondisi umat yang lebih berorientasi konsumtif, namun juga dipengaruhi oleh di antaranya kesulitan menembus pembiayaan bagi hasil tersebut. Prosedur yang memberatkan seperti adanya lamannya bidang pekerjaan bagi nasabah yang mengajukan permohonan perlu dirubah dengan mengadakan pendampingan atau denganpersonal guarantee atau ad dlaman. Untuk mengatasi hal ini, bank syariah sebenarnya bisa membangun jaringan dengan ulama atau tokoh masyarakat setempat. Jadi bukan menolak permohonan pembiayaan produktif, tetapi menerima dengan pendampingan.
Bank syariah dalam prakteknya selama ini juga cenderung melakukan akad murabahah, karena bank syariah ingin memperoleh pendapatan yang tetap (fixed income), dari tingkat keuntungan murabahah yang telah ditentukan. Lebih ironis lagi beberapa kebijakan bank syariah untuk sektor pembiayaan masih relatif sama dengan kebijakan bank konvensional. Padahal kebijakan bank konvensional tersebut tidak tepat untuk diterapkan pada operasional bank syariah, khususnya mengenai kebijakan pada penentuan tarif keuntungan (margin/laba), jangka waktu pembiayaan, jaminan pembiayaan.
       Beberapa kendala yang lain sebagai berikut; 
1.       1. Pertama, Money Circulation yaitu sumber dana bank atau lembaga keuangan Islam yang sebagian berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. 
2.       2. Kedua, adverse selection, yaitu (1) pengusaha dengan bisnis yang memiliki keuntungan tinggi cenderung enggan menggunakan sistem mudarabah, (2) pengusaha dengan bisnis beresiko rendah enggan meminta pembiayaan mudarabah, sebaliknya justru yang beresiko tinggi yang sering menggunakan sistem mudarabah, (3) pengusaha memberikan prospektus proyek yang terlalu optimis (hanya) agar pihak bank tertarik. 
3.       3. Ketiga, moral hazard yaitu pengusaha mempunyai dua pembukuan, yaitu (1) yang diberikan kepada bank; (2) yang tingkat keuntungannya kecil, sehingga porsi keuntungan yang diberikan juga kecil, padahal pembukuan yang sebenarnya mempunyai keuntungan berjumlah besar.
Idealisme perbankan Syariah adalah perbankan yang dilandasi teori, prinsip ekonomi dan perangkat undang-undang yang mantap. Pelaku-pelakunya mempunyai akhlak yang itqan(tekun), dan Ihsan (profesional) dalam bidang ekonomi, baik yang berperan sebagai produsen, konsumen, pengusaha, dan karyawan. Setiap langkah bisnis harus didasari al-amanah, al-istiqamah, at-taqwa, as-sidq, al-haq dan al-qulb. Antisipasi pada kecenderungan penyimpangan dapat diterapkan metode reward dan punishment (insentif dan sanksi) setiap kali terjadi dalam transaksi. Hal ini untuk mengeliminir kecurangan dan menjaga agar nasabah yang amanah tetap tegar.
Perjalanan perbankan syariah yang masih sangat muda memberikan kesempatan untuk berkembang secara lebih pesat dan dengan dinamika yang agresif dan secara bertahap (gradual). Dasar pijakan yang bisa digunakan adalah penelitian-penelitian tentang perbankan syariah yang dilakukan oleh pihak perbankan syariah, dewan syariah, dan akademisi. Agresivitas dan dinamika yang dilakukan oleh perbankan syariah dilakukan dalam bingkai semangat perbaikan terus menerus.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar