A.
Kendala-kendala Fiqh
1. Adanya perbedaan
pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara
garis besar terbagi pada tiga pendapat yaitu; halal, syubhat, dan haram.
Umar Syihab, salah seorang ulama NU
(Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah
halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan.
a. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut
dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan
riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah.
b. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat
bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya
tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga.
c. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor
pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan
produktif.
d. Keempat,adanya kerelaan antara kedua belah pihak
yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas
kerelaan.
Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam
terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank
tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat
pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun,
meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul
Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama,
yakni bunga bank haram.
Menurut pengamatan penulis,
kontroversial mengenai bunga bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di beberapa
negara Islam seperti Mesir, Irak, dan Iran (Omar Abdul Aziz, 1987, pp.
288-296), sehingga untuk menghadapinya perlu menggunakan pendekatan ilmiah dan
normatif untuk menyakinkan para ulama yang menghalalkan bunga atasmadarat-nya,
dengan memberi bukti-bukti empiris mengenai kehancuran yang mengancam
perekonomian Negara-negara sedang Berkembang karena praktek bunga yang
ditawarkan oleh perbankan konvensional, dan alasan-alasan yang menjadi dasar
untuk menghalalkan bunga tidak benar secara empiris.
2. Hal lain yang perlu
diperhatikan oleh perbankan Syari’ah di Indonesia bahwa tingkat profit dan loss
sharing yang ditawarkan masih terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat
suku bunga.
Kalau kita amati perbankan Syari’ah yang
beroperasi di beberapa negara Islam dan non Islam bisa dilihat bahwa
tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan lebih tinggi dari
tingkat suku bunga hingga perbankan Syari’ah menjadi
lebih menarik bagi para nasabah non Muslim.
Masalah ini bisa menghambat perkembangan perbankan Syari’ah di Indonesia dan
membuat nasabah cenderung memilih perbankan konvensional dan secara empiris
berlawanan dengan teori keuntungan perbankan Syari’ah (Folcer, 1987) yang
menganggap bahwa keuntungan perbankan Syari’ah lebih dari tingkat suku bunga
yang ditawarkan oleh perbankan konvensional dan bisa dibuktikan secara
matematis seperti berikut:
(dengan
asumsi bahwa perbankan Syari’ah dan Konvensional tidak menghadapi permasalahan
likuiditas)
maka:
R
= Return Investasi
B
= Biaya Investasi
DR = Suku
Bunga yang dihitung dengan nilai kapital ´ rata-rata suku bunga untuk hutang
iK =
keuntungan sesuai dengan sistem konvensional
iPL =
keuntungan sesuai dengan profit dan loss sharing (sistem Islam)
Dengan ini bisa konsekuensi bahwa:
1. iPL = R - B
2. iK = R - B - DR
3. iPL = iK +
DR
4. iK = iPL – DR
(dengan
memasukkan persentase perbankan Syari’ah dari keuntungan profit dan loss
sharing yang dirumuskan dengan PK) maka inequation bisa ditulis dengan:
(Folcer, 1987)
(1 – PK) iPL ³ iK ............................................
1
Dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa
kinerja perbankan Syari’ah di Indonesia masih di bawah kinerja perbankan
Syari’ah di negara lain dan masih dalam operasinya mengutamakan produk yang
mendapatkan arus kas yang tetap sepertimurabaha dari pada produk yang
mempunyai arus kas yang tidak pasti sepertimusyarkah, dan mudharaba.
B.
Problem Hukum
1. Bank Syari’ah /
Islam dalam sistem perbankan Indonesia secara formal telah dikembangkan sejak
tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan. Namun demikian, UU tersebut belum memberi landasan hukum yang kuat
terhadap pengembangan bank Syari’ah karena belum secara tegas mengatur
keberadaan bank berdasarkan prinsip Syari’ah melainkan Bank Bagi Hasil.
Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU Perbankan No. 7 Tahun 1992
belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syari’ah yang memiliki cakupan
lebih luas dari bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, hingga
tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus
mengatur kegiatan usaha Bank Syari’ah.
2. Pemberlakuan UU Perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah
UU No. 7 tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan
pelaksanan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi
landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan
perbankan Syari’ah di Indonesia. Perundang-undangan
tersebut memberi kesempatan yang luas untuk
pengembangan jaringan perbankan Syari’ah antara lain
melalui ijin pembukaan Kantor Cabang Syari’ah
(KCS) oleh bank konvensional. Dengan
kata lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan
usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan
prinsip Syari’ah.
3. Selain
itu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) juga menugaskan BI untuk
mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang
mendukung operasional Bank Syari’ah. Kedua UU tersebut di atas menjadi dasar
hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia. Dual Banking
System yang dimaksud adalah terselenggaranya dua sistem perbankan
(konvensional dan syari’ah) secara berdampingan dalam melayani perekonomian
nasional yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku.
BI dalam fungsinya sebagai The Leader of Last
Resort adalah membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
Menurut ps. 11 (1) UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia adalah bahwa BI dapat
memberi kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syari’ah untuk jangka waktu
paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek bank tersebut. Hanya saja kesulitan terjadi ketika UU
tersebut juga menentukan bahwa bank konvensional maupun bank syari’ah wajib
memberikan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan
serta nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan
yang diterimanya. Sedangkan maksud agunan
yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan adalah
meliputi surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah
atau badan hukum lain yang mempunyai otoritas untuk itu. Bagi bank syari’ah
untuk dapat menyediakan agunan berupa surat-surat berharga dan/atau tagihan
yang tidak berbunga, belum mungkin karena pasar uang (financial market) yang
berdasarkan prinsip syari’ah belum berkembang di Indonesia.
Kendala hukum yang lain ialah di Indonesia,
Pengadilan Negeri tidak menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi
penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No.
7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili
perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah.
Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang
tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk
lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya
sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah sudah sangat
mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau
berdasarkan prinsip syari’ah. Di Indonesia, badan ini dikenal dengan nama Badan
Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI, yang didirikan secara
bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan MUI. Akan
tetapi badan tersebut sampai sekarang belum bekerja dan sengketa perdata di
antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah diselesaikan di Pengadilan
Negeri.
Alasan ini memperlihatkan bahwa seseorang memilih bank
syariah adalah alasan emosional-ideologis, bukan alasan yang memberi solusi
pada nasabah, yang membantu nasabah dalam menyelesaikan problem-problemnya
secara lebih baik, memberikan perbaikan pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat
lemah dan pada tujuannya memberikan rahmah pada alam semesta. Solusi yang
dimaksud di sini adalah alasan lebih adil, menolong, resiko ringan. Artinya,
secara riil keberadaan bank syariah di dunia, khususnya
di Indonesia baru dipandang sebagai penyelamatan diri secara
emosional-ideologis, bukan penyelamatan (solusi) dari problem ekonomi, bahkan
secara makro penyelamatan eksistensial, yang menyelamatkan kemanusiaan dari
kekuatan kapital yang merongrong eksistensi kemanusiaan, yang berujung pada
problem kemanusiaan.
Fenomena ini tidak hanya dipacu oleh kondisi umat yang
lebih berorientasi konsumtif, namun juga dipengaruhi oleh di antaranya
kesulitan menembus pembiayaan bagi hasil tersebut. Prosedur yang memberatkan
seperti adanya lamannya bidang pekerjaan bagi nasabah yang mengajukan
permohonan perlu dirubah dengan mengadakan pendampingan atau denganpersonal
guarantee atau ad dlaman. Untuk mengatasi hal ini, bank syariah
sebenarnya bisa membangun jaringan dengan ulama atau tokoh masyarakat setempat.
Jadi bukan menolak permohonan pembiayaan produktif, tetapi menerima dengan
pendampingan.
Bank
syariah dalam prakteknya selama ini juga cenderung melakukan akad murabahah,
karena bank syariah ingin memperoleh pendapatan yang tetap (fixed income), dari
tingkat keuntungan murabahah yang telah ditentukan. Lebih ironis lagi beberapa
kebijakan bank syariah untuk sektor pembiayaan masih relatif sama dengan
kebijakan bank konvensional. Padahal kebijakan bank konvensional tersebut tidak
tepat untuk diterapkan pada operasional bank syariah, khususnya mengenai
kebijakan pada penentuan tarif keuntungan (margin/laba), jangka waktu
pembiayaan, jaminan pembiayaan.
Beberapa
kendala yang lain sebagai berikut;
1. 1. Pertama, Money
Circulation yaitu sumber dana bank atau lembaga keuangan Islam yang
sebagian berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil
yang biasanya berjangka panjang.
2. 2. Kedua, adverse
selection, yaitu (1) pengusaha dengan bisnis yang memiliki keuntungan tinggi
cenderung enggan menggunakan sistem mudarabah, (2) pengusaha dengan bisnis
beresiko rendah enggan meminta pembiayaan mudarabah, sebaliknya justru yang
beresiko tinggi yang sering menggunakan sistem mudarabah, (3) pengusaha
memberikan prospektus proyek yang terlalu optimis (hanya) agar pihak bank
tertarik.
3. 3. Ketiga, moral
hazard yaitu pengusaha mempunyai dua pembukuan, yaitu (1) yang diberikan
kepada bank; (2) yang tingkat keuntungannya kecil, sehingga porsi keuntungan
yang diberikan juga kecil, padahal pembukuan yang sebenarnya mempunyai
keuntungan berjumlah besar.
Idealisme perbankan Syariah adalah perbankan yang dilandasi
teori, prinsip ekonomi dan perangkat undang-undang yang mantap.
Pelaku-pelakunya mempunyai akhlak yang itqan(tekun),
dan Ihsan (profesional) dalam bidang ekonomi, baik yang berperan
sebagai produsen, konsumen, pengusaha, dan karyawan. Setiap langkah bisnis
harus
didasari al-amanah, al-istiqamah, at-taqwa, as-sidq, al-haq dan al-qulb.
Antisipasi pada kecenderungan penyimpangan dapat diterapkan
metode reward dan punishment (insentif dan sanksi) setiap
kali terjadi dalam transaksi. Hal ini untuk mengeliminir kecurangan dan menjaga
agar nasabah yang amanah tetap tegar.
Perjalanan perbankan syariah yang masih sangat muda
memberikan kesempatan untuk berkembang secara lebih pesat dan dengan dinamika
yang agresif dan secara bertahap (gradual). Dasar pijakan yang bisa digunakan
adalah penelitian-penelitian tentang perbankan syariah yang dilakukan oleh
pihak perbankan syariah, dewan syariah, dan akademisi. Agresivitas dan dinamika
yang dilakukan oleh perbankan syariah dilakukan dalam bingkai semangat
perbaikan terus menerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar